Saturday, 28 February 2015

MAKALAH SOSIOLINGUISTIK TENTANG PENDIDIKAN BAHASA



MAKALAH SOSIOLINGUISTIK
(Pendidikan Bahasa)

Disusun oleh:
Asaro Aprilianti          2303413033





FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014

PRAKATA

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
            Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”Pendidikan Bahasa”.
            Dalam penyusunan makalah ini, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada kedua orang tua dan segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal. Semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

                                                                                                 Semarang  Juni 2014

      
                                                                                                     
                                                                                                            Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

            Saat ini pendidikan bahasa banyak di minati oleh orang. Mereka yang belajar bahasa memiliki beragam tujuan yang berbeda-beda. Ada yang belajar hanya untuk mengerti, ada yang belajar untuk memahami isi bacaan, ada yang belajar untuk dapat bercakap-cakap dengan lancar, ada pula yang belajar untuk gengsi-gengsian, dan ada pula yang belajar dengan berbagai tujuan khusus.
            Bahasa adalah alat penerus kebudayaan, kemasyarakatan dan kemanusiaan. Perolehan kebudayaan oleh manusia terjadi melalui suatu proses yang disebut pendidikan. Dalam pendidikan akan terjadi interaksi belajar mengajar antara pendidik dan peserta didik dan alat paling utama dalam interaksi belajar mengajar adalah bahasa. Penggunaan bahasa pengantar yang baik akan mendukung secara langsung maupun tidak langsung pembelajaran bahasa.
            Demikian juga bahasa Arab yang kedudukannya di Indonesia sebagai bahasa Asing juga banyak di pelajari oleh orang indonesia. Menurut asumsi yang selama ini berkembang, bahasa Arab sudah mulai dikenal oleh bangsa Indonesia sejak Islam dikenal dan dianut oleh mayoritas bangsa kita. Jika Islam secara meluas telah dianut oleh masyarakat kita pada abad ke-13, maka usia pendidikan bahasa Arab dipastikan sudah lebih dari 7 abad. Karena perjumpaan umat Islam Indonesia dengan bahasa Arab itu paralel dengan perjumpaannya dengan Islam. Dengan demikian, bahasa Arab di Indonesia jauh lebih “tua dan senior” dibandingkan dengan bahasa asing lainnya, seperti: Belanda, Inggris, Portugal, Mandarin, dan Jepang. Sejak kemunculannya di Indonesia, sudah banyak metode-metode yang di terapkan dalam pengajaran bahasa Arab. Metode-metode itu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keefektifan dalam pengajaran bahasa Arab. Sedangkan di dunia, bahasa Arab mulai menyebar keluar jazirah Arabia sejak abad ke-1H atau abad ke-7M, karena bahasa Arab selalu terbawa kemana pun islam terbang. Penyebaran itu meliputi wilayah Byzantium di utara, wilayah Persia di timur dan wilayah Afrika sampai Andalusia di Barat. Bahasa Arab pada masa khalifah Islamiyah itu menjadi bahasa resmi untuk keperluan agama, budaya, administrasi dan ilmu pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
(Pendidikan Bahasa)
A. Bahasa dan Pendidikan
            Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem, yaitu seperangkat aturan yang dipatuhi oleh pemakainya. Bahasa sendiri berfungsi sebagai sarana komunikasi serta sebagai sarana integrasi dan adaptasi.            Berikut ini adalah pengertian dan definisi bahasa menurut para ahli:
# WITTGENSTEIN
            Bahasa merupakan bentuk pemikiran yang dapat dipahami, berhubungan dengan realitas, dan memiliki bentuk dan struktur yang logis.
# FERDINAND DE SAUSSURE
            Bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol karena dengan bahasa setiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok yang lain.
# PLATO
            Bahasa pada dasarnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata (nama benda atau sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut.
# BLOCH & TRAGER
            Bahasa adalah sebuah sistem simbol yang bersifat manasuka dan dengan sistem itu suatu kelompok sosial bekerja sama.
            Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
            Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan.
            Bila dilihat dari beberapa definisi dan pengertian mengenai bahasa dan juga pendidikan menurut beberapa ahli diatas, kita bisa melihat bahwa terdapat perbedaan definisi tentang bahasa maupun pendidikan dimana definisi dari setiap ahli tergantung dengan apa yang ingin ditekankan. Namun meskipun terdapat perbedaan, nampaknya disepakati bersama bahwa bahasa adalah alat komunikasi. Dan sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai fungsi-fungsi dan ragam-ragam tertentu termasuk sebagai  alat penerus kebudayaan, kemasyarakatan dan kemanusiaan. Sementara Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
            Menurut Nababan, perolehan kebudayaan oleh manusia terjadi melalui suatu proses yang disebut pendidikan. Istilah pendidikan bahasa tercakup di dalamnya pengajaran bahasa. Pendidikan lebih tertuju kepada pengubahan sikap pribadi yang lebih baik terhadap bahasa yang dipelajari sedangkan pengajaran lebih tertuju kepada pengubahan pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang dipelajari.
B. Tujuan Belajar Bahasa
            Banyak orang yang belajar bahasa dengan berbagai tujuan yang berbeda. Ada yang belajar hanya untuk mengerti, ada yang belajar untuk memahami isi bacaan, ada yang belajar untuk dapat bercakap-cakap dengan lancar, ada pula yang belajar untuk gengsi-gengsian, dan ada pula yang belajar dengan berbagai tujuan khusus.
                        Menurut Nababan (1993: 64), tujuan belajar bahasa dapat digolongkan ke dalam empat golongan utama, yaitu:
1.      Penalaran
           Tujuan penalaran menyangkut kesanggupan berfikir dan pengungkapan nilai serta sikap sosial budaya.
2. Instrumental
                 Tujaun instrumental menyangkut penggunaan bahasa yang dipelajari untuk tujuan-tujuan material dan konkret, misalnya untuk mengetahui pemakaian alat-alat, memperbaiki kerusakan mesin, mempelajari suatu ilmu, melakukan korespondensi komersial, dsb.
3.  Integratif
                 Tujuan integratif menyangkut keinginan seseorang menjadi anggota suatu masyarakat yang menggunakan bahasa (atau dialek) itu sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.
4.  Kebudayaan
                 Tujuan kebudayaan terdapat pada orang yang secara ilmiah ingin mengetahui, atau memperdalam pengetahuannya tentang suatu kebudayaan atau masyarakat. Tujuan ini didasarkan pandangan bahwa bahasa menyimpan unsur-unsur kebudayaan dari suatu masyarakat, sehingga mengetahui bahasa akan membantu memperdalam pengetahuan tentang kebudayaan atau kehidupan masyarakat yang memakai bahasa tersebut.
           
C. Bahasa Dalam Interaksi Belajar Mengajar
            Apabila dikaitkan dengan proses belajar mengajar, maka interaksi belajar mengajar adalah suatu hal yang saling melakukan aksi di dalam proses belajar mengajar yang di dalamnya ada suatu hubungan antara murid dan guru untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan dari interaksi tersebut adalah suatu hal yang sudah disadari serta disepakati sebagai milik bersama dan berusaha dengan semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan itu.                        Alat paling utama dalam interaksi belajar mengajar adalah bahasa. Penggunaan bahasa pengantar yang baik akan mendukung secara langsung maupun tidak langsung pembelajaran bahasa.
D. Pengajaran Bahasa Asing: Arab
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994: 14-15) pengajaran: 1. proses perbuatan; cara mengajar atau mengajarkan; 2. perihal mengajar; segala sesuatu mengenai mengajar. Pembelajaran: proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Pemelajaran: proses, cara, perbuatan mempelajari.
            Pengajaran bahasa asing termasuk bahasa Arab bagi orang Indonesia selalu dilatar belakangi berbagai tujuan yang melahirkan berbagai metode pengajarannya. Metode pengajaran bahasa asing terus berkembang seiring perkembangan tuntutan zaman. Setiap metode pengajaran memiliki kelebihan dan kekurangannya tergantung konteks situasi yang menyertainya.
1. SEJARAH PERKEMBANGAN METODE PENGAJARAN BAHASA ASING DUNIA
            Sejarah perkembangan bahasa kedua (asing) dimulai dengan model “private”, karena pada masa lalu hanya orang-orang terkemuka dan para bangsawan saja yang mampu belajar bahasa kedua. Pada permulaan masa imperium Romawi, peradaban Yunani kuno sangat dominan. Maka dalam rangka menguasai ilmu dan peradaban Yunani kuno, para penguasa Romawi merasa perlu mempelajari bahasa Yunani. Metode yang digunakan adalah “menghafalkan ungkapan-ungkapan dalam bahasa kedua (Yunani) dan membandingkan dengan ungkapan-ungkapan dalam bahasa ibu (Latin)”. Seiring dengan menguatnya kekuasaan Romawi, maka bahasa mereka (bahasa Latin) menjadi bahasa yang paling dominan , karena digunakan sebagai bahasa agama, ilmu, sastra, dan politik.
Lahirnya alat percetakan pada abad 15 M membawa perubahan besar pada pengajaran bahasa. Di Eropa pada waktu itu, bahasa Latin menjadi bahasa sekolah atau bahasa ilmu. Bahasa Latin diajarkan di sekoalah-sekolah, dan buku-buku berbahasa Latin beredar secara luas di tengah masyarakat. Pada waktu itu, ada upaya dari para ahli filsafat bahasa untuk menerapkan kaidah-kaidah gramatika yang diambil dari bahasa tulis Latin kuno pada bahasa lisan. Maka pengajaran bahasa pada waktu itu berkutat pada menghafalkan kaidah-kaidah bahasa dan penerapannya secara ketat dalam ujaran-ujaran.
Pada abad 17 M, seorang pendidik dari Cheko, John Amos Comenius, dalam bukunya “Membuka Khasanah Bahasa” yang terbit pada tahun 1630, mengemukakan pandangan bahwa metode pengajaran yang selama ini dipakai tidak berguna. Dalam pandangannya, penguasaan kaidah-kaidah belaka dan menghafalkan kosa kata lepas adalah sia-sia, dan bahwa upaya menundukkan kaidah bahasa kepada prinsip-prinsip logika adalah bertentangan dengan taibat bahasa yang spontan. Comenius menyarankan cara belajar bahasa melalui gerakan dan aktivitas yang langsung menyertai ungkapan bahasa, atau melalui gambar-gambar yang konkrit tanpa terlalu dibebani dengan penguasaan kaidah-kaidah. Pandangan Comenius ini tidak menarik perhatian para pengajar bahasa pada waktu itu, tetapi mendapat dukungan dari beberapa pendidik dan filosof Inggris semisal John Lock.
Pada awal abad 19 M, muncul pandangan yang menguatkan kembali perlunya penguasaan kaidah-kaidah bahasa dan kosakata dalam pengajaran bahasa. Pelopornya adalah seorang pendidik dari Jerman yaitu Karl Ploetz, yang juga menyarankan pemilihan teks-teks tertentu untuk diterjemahkan  dari bahasa pertama. Metode, yang kemudian dikenal dengan nama “Metode Gramatika Terjemah” ini tersebar luas pemakainya di Eropa barat pada awal abad 19 M.
Kemudian pada pertengahan abad sembilan belas itu pula, muncul metode baru yang dipelopori oleh Francois Gouin dari Perancis. Metode yang kemudian dikenal dengan “Metode Langsung” ini membawa siswa terjun langsung dan tenggelam dalam aktivitas bahasa asing yang dipelajari sejak detik pertama dalam ruang kelas, dengan bantuan gerakan, peragaan, dan gambar. Metode ini digunakan secara luas di benua Eropa, Amerika, Timur Tengah, dan belahan dunia lainnya sampai perempatan pertama abad ke-20 M.
Perkembangan metodologi pengajaran bahasa pasca metode Langsung yaitu sejak tahun tigapuluhan berkembang secara cepat, seiring dengan berkembangnya kajian-kajian dalam bidang linguistik dan psikologi. Dimulai dengan metode membaca (tahun 30-an), berturut-turut lahir pendekatan Aural-Oral dan Metode Audiolingual (tahun 50-an), pendekatan kognitif (tahun 60-an), pendekatan komunikatif (tahun 70-an) dan beberapa pendekatan mutakhir yang terus dikembangkan Negara-negara yang menjadi kiblat pengajaran bahasa seperti Amerika dan Inggris.
2SEJARAH PERKEMBANGAN PENGAJARAN BAHASA ARAB DI SEMENANJUNG ARAB DAN WILAYAH SEKITARNYA
             Sejarah mencatat bahwa bahasa Arab mulai menyebar keluar jazirah Arabia sejak abad ke-1H atau abad ke-7M, karena bahasa Arab selalu terbawa kemana pun islam terbang. Penyebaran itu meliputi wilayah Byzantium di utara, wilayah Persia di timur dan wilayah Afrika sampai Andalusia di Barat. Bahasa Arab pada masa khalifah Islamiyah itu menjadi bahasa resmi untuk keperluan agama, budaya, administrasi dan ilmu pengetahuan. Kebanggan kepada bahasa Arab menyebabkan bahasa Yunani, Persia, Koptik dan Syiria yang merupakan bahasa ibu bagi penduduk di berbagai wilayah itu berada pada posisi inferior. Mereka berbicara, menulis surat-surat pribadi, bahkan mengarang syair-syair dengan bahasa Arab. Tidak diperoleh referensi yang memadai bagaimana bahasa Arab dipelajari oleh orang-orang non Arab itu. Yang pasti adalah melalui interaksi langsung dengan penutur asli bahasa Arab yang datang ke negei mereka, dan kepergian mereka ke pusat-pusat Islam di jazirah Arabia.
Ketika masa kejayaan Islam semakin meredup pada akhir abad ke 18, sementara Eropa justru mengalami renaisans (kelahiran kembali atau pencerahan), mata angin pembelajaran bahasa Arab pun mulai berganti arah. Kemajuan yang terjadi di Eropa mengiringi dunia Arab dan Islam untuk berbalik mencari tetesan ilmu pengetahuan yang pada awalnya berasal dari kemajuan peradaban mereka sendiri. Disinilah teori dialektika sejarah Hegel terjadi. Peradaban barat maju karena kemajuan peradaban Islam masa lalu, dan masa kebangkitan Islam dan Arab kemudian dipengaruhi oleh kemajuan peradaban Barat. Melalui invansi Napoleon Bonaparte ke Mesir pada tahun 1789 M., mata dunia Arab dan Islam yang mulai meredup itu kembali terbuka lagi untuk melihat dan meledani berbagai kemajuan yang terjadi di Eropa
Sejak saat itu pula, Mesir banyak menimba ilmu serta mengadakan hubugan diplomatik kebudayaan dengan Eropa, khususnya Prancis. Dalam pengajaran bahasa, metode-metode yang berkembang di Eropa pun diadopsi dan digunakan secara luas di Mesir, mulai dari metode gramatika tarjamah,sampai dengan metode metode langsung. Pengajaran bahasa Arab semakin berkembang dan mendapatkan momentumnya manakala terjadi invansi para missionaris Kristen dari Amerika menyerbu negeri Arab bagian Utara (Syam). Karena dalam penyebaran misi awalnnya, mereka menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa yang resmi, maka berkembang pulalah metodologi pengajaran bahasa Arab. Sehingga lahirlah beberapa buku yang berkaitan dengan ilmu bahasa Arab termasuk kamus-kamus berbahasa Arab. Al-Munjid, adalah salah satu bukti sejarah dimana seorang Nasrani seperti Louis Ma’luf terlibat secara langsung dalam pengembangan bahasa Arab. Dari penjelasan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa perkembangan metodologi pengajaran bahasa-bahasa latin di Eropa,dan bahasa Inggris di Eropa dan Amerika banyak berjasa dalam memajukkan perkembangan metodologi pengajaran bahasa Arab.
.
3. PERKEMBANGAN PENGAJARAN BAHASA ARAB DI INDONESIA
            Sejauh ini belum ada hasil penelitian yang memastikan sejak kapan studi bahasa Arab di Indonesia mulai dirintis dan dikembangkan. Asumsi yang selama ini berkembang adalah bahwa bahasa Arab sudah mulai dikenal oleh bangsa Indonesia sejak Islam dikenal dan dianut oleh mayoritas bangsa kita. Jika Islam secara meluas telah dianut oleh masyarakat kita pada abad ke-13, maka usia pendidikan bahasa Arab dipastikan sudah lebih dari 7 abad. Karena perjumpaan umat Islam Indonesia dengan bahasa Arab itu paralel dengan perjumpaannya dengan Islam. Dengan demikian, bahasa Arab di Indonesia jauh lebih “tua dan senior” dibandingkan dengan bahasa asing lainnya, seperti: Belanda, Inggris, Portugal, Mandarin, dan Jepang.
Bahasa Arab masuk kewilayah nusantara dapat dipastikan bersamaan dengan masuknya agama Islam, karena bahasa Arab sangat erat kaitannya dengan berbagai bentuk peribadatan dalam agama Islam disamping kedudukannya sebagai bahasa kitab suci Al-Qur’an. Maka pengajaran bahasa Arab yang pertama dinusantara adalah untuk memenuhi kebutuhan seorang muslim dalam menunaikan ibadah khususnya Shalat. Sesuai dengan kebutuhan tersebut, materi yang diajarkan adalah doa-doa salat dan surat-surat pendek Al-Qur’an yaitu juz yang terakhir yang lazim disebut juz’ Amma, atau dikenal dengan sebutan Turutan. Didalam turutan ini termuat pula materi pelajaran memabaca huruf Al-Qur’an dengan metode abjadiyah. Akan tetapi pengajaran bahasa Arab verbalistik ini dirasa tidak cukup, karena Al-Qur’an tidak hanya dibaca sebagai sarana peribadatan, melainkan pedoman hidup yang harus dipahami maknanya dan diamalkan ajaran-ajarannya. Demikian pula doa-doa atau bacaan-bacaan dalam shalat perlu dipahami dan dihayati maknanya agar shalat benar-benar berfungsi sebagai media komunikasi dengan sang pencipta. Maka muncullah pengajaran bahasa Arab untuk kedua dengan tujuan pendalaman ajaran agama Islam, yang tumbuh dan berkembang dipondok pesantren.
Materi pelajaran Pendidikan Bahasa Arab bentuk kedua ini meliputi fiqh, aqoid, hadist, tafsir,dan ilmu-ilmu bahasa Arab seperti nahwu, shorf, dan balaghoh dengan buku teks berbahasa Arab yang ditulis oleh para ulama dari berbagai abad di masa lalu. Diantara buku teks (yang lazim disebut kitab) tersebut adalah sebagai berikut. Untuk fiqihSullam an-Naja:h, Sullam at-Taufi:q, Fathu-l-Qori:b, Fathu-l-Mu’i:n, I’a:nat-t-Tho:libin,Fathu al-Wahhab, dan al-Asibah wa an-Nadza:irAqo’idaqi:dah al-AwwamHadist: al-Arba’i:n an-Nawa:wiyah, Bulu:gh al-Maram, Mukhtashar Abi: Jamroh Tajri:d Shori:kh Shohih Bukhori, Shohih Muslim. Tafsir: Tafsi:r al-Jala:layn. Ilmu bahasa Arab: al-Jurumiyah, Alfiyah ibnu MalikShorf: Aru:dh, Jawa:hir al-Bala:ghoh.
Metode yang digunakan dalam pengajaran bahasa Arab bentuk kedua ini adalah metode Gramatika Terjemah (Qowa:’id wa Tarjamah). Tehnik penyajiannya secara umum adalah guru (kyai) dan murid-murid (santri) masing-masing memegang buku (kitab). Guru membaca dan mengartikan kata demi kata atau kalimat demi kalimat ke dalam bahasa daerah khas pesantren yang telah didekatkan kepada sensitivitas bahasa Arab. Santri mencatat arti setiap kata atau kalimat Arab yang diucapkan artinya oleh guru. Pekerjaan santri mencatat arti setiap kata ini dikenal dengan istilah memberi “jenggot”, karena terjemahan bahasa daerah yang dicantumkan langsung dibawah kata Arab tadi ditulis menjulur ke bawah menyerupai jenggot. Hal ini dilakukan dalam 2 bentuk yaitu dilakukan sendiri-sendiri (privat); satu persatu santri menghadap kyai (dinamakan Sorogan) dan model klasikal (dinamakan Bandongan).
Model pembelajaran dengan metode Gramatika Terjemah ini memiliki ciri khas yaitu model penerjemahan sekaligus mengajarkan tata kalimat (qowaid) yaitu menggunakan kata-kata tertentu sebagai simbol yang menunjukkan fungsi suatu kata dalam kalimat.
Sebagai contoh: الحمد لله رب العالمين
الحمدUtawi iku sekabehe puji
 للهIku kagungane Gusti Allah
 رب العالمينKang mangerani sakabehing alam
Utawi –iku-kang” dalam terjemahan tersebut digunakan bukan dalam arti yang sebenarnya, melainkan sebagai kata pinjaman fungsional yaitu menunjukkan fungsi kata dalam kalimat. Utawi sebagai simbol untuk kata yang berkedudukan atau berfungsi sebagai subjek (Mubtada’), sedangkan iku adalah sebagai simbol untuk kata yang berkedudukan atau berfungsi sebagai predikat (Khabar), dan kang adalah sebagai simbol untuk kata sifat (Na’at).
Pengajaran bahasa Arab bentuk kedua ini, yang dapat digolongkan ke dalam bentuk pengajaran bahasa Arab untuk tujuan khusus (li ahda:f kha:shah – for special purposes) adalah yang paling dominan di tanah air hingga saat ini dan diakui kontribusinya dalam memahamkan umat Islam Indonesia terhadap ajaran agamanya. Akan tetapi dipandang dari segi penguasaan bahasa Arab, kemahiran yang berhasil dicapai terbatas pada kemahiran reseptif.
Seiring dengan tuntutan zaman yang terus berubah, pergaulan umat Islam antar bangsa menuntut kemampuan berbahasa Arab lebih dari sekedar kemampuan reseptif. Keperluan menjadikan bahasa Arab sebagai media komunikasi baik lisan maupun tulisan antar bangsa tersebut dirasa sangat urgen. Maka itu dibutuhkan kemampuan produktif atau ekspresif dalam berbahasa Arab. Hal inilah yang mendorong perubahan corak pembelajaran bahasa Arab. Pembelajaran bahasa Arab diarahkan mampu menjawab tuntutan zaman tersebut. Tujuan pengajaran bahasa arab yang sebelumnya hanyalah berkutat pada masalah pendalaman khasanah keislaman klasik yang banyak termaktub dalam bahasa Arab berubah menjadi pengembangan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Arab.
Bersamaan dengan perkembangan tujuan pengajaran bahasa Arab itu, berkembang pula metode pengajarannya. Para ulama dan intelektual muslim yang belajar di pusat-pusat pendidikan di Timur Tengah terutama Mesir, setibanya di tanah air banyak membawa semangat pembaharuan yang sedang melanda negeri-negeri tersebut, tidak saja dalam bidang pendidikan dan pemikiran agama, tetapi juga dalam metodologi pengajaran bahasa Arab.
Pada masa inilah metode Langsung (Thari:qoh Muba:syirah – Direct Method) mulai diterapkan dalam pengajaran bahasa Arab di tanah air. Pengajaran bahasa Arab bentuk ketiga ini terdapat di berbagai perguruan Islam modern sejak awal abad 19 M, dimulai di Padang Panjang oleh Ustadz Abdullah Ahmad, Madrasah Adabiyah (1909), dua bersaudara Zainudddin Labay El-yunusi dan Rahmah Labay El-Yunusiyah, Diniyah Putra (1915) Diniyah Putri (1923), dan Ustadz Mahmud Yunus Normal School (1931); kemudian dikembangkan oleh KH. Imam Zarkasyi di Kulliyatu-l-Mu’allimin al-Islamiyah Gontor Ponorogo.
Dalam sistem pengajaran yang ketiga ini, pelajaran agama pada tahun pertama diberikan sebagai dasar saja dan dengan bahasa Indonesia. Sementara itu sebagian besar perhatian siswa dicurahkan kepada pelajaran bahasa Arab dengan metode Langsung. Pada tahun kedua, ilmu tata bahasa Arab (nahwu sharf) mulai diberikan dalam bahasa Arab dengan metode induktif, disamping latihan intensif qira:ahinsya’, dan muha:dastah. Pelajaran agama juga disajikan dalam bahasa Arab. Dlam masa belajar enam tahun (pasca Sekolah Dasar), seorang lulusan perguruan Islam modern ini telah mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab, lisan maupun tulisan dan mampu membaca buku berbahasa Arab dalam berbagai subyek pengetahuan. Dalam perkembangannya, pengajaran bahasa Arab di perguruan Islam modern ini tidak hanya menggunakan metode Langsung tetapi mengikuti pembaharuan-pembaharuan yang terjadi di dunia pengajaran bahasa, misalnya dengan hadirnya pendekatan Aural-Oral dan pendekatan Komunikatif.
Sayang sekali bahwa pembaharuan ini tidak segera bisa diserap oleh sebagian besar perguruan Islam di tanah air, karena sebagian memilih bertahan pada bentuk kedua, dan sebagian besar lainnya mencoba menggabungkan bentuk ketiga dan kedua sehingga menghasilkan bentuk keempat berikut ini.
Bentuk keempat pengajaran bahasa Arab di tanah air, yang terdapat di lembaga pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum), meminjam istilah Wajiz Anwar, L.Ph (1971) adalah “bentuk yang tidak menentu”. Ketidakmenentuan ini bisa dilihat dari beberapa segi. Pertama dari segi tujuan, terdapat kerancuan antara mempelajari bahasa Arab sebagai tujuan (menguasai kemarihan berbahasa) atau sebagai alat untuk menguasai pengetahuan lain yang menggunakan wahana bahasa Arab. Kedua dari segi jenis bahasa yang dipelajari, terdapat ketidakmenentuan apakah bahasa Arab klasik, bahasa Arab modern, atau bahasa Arab sehari-hari. Ketiga dari segi metode, terdapat kegamangan antara mempertahankan yang lama dan menggunakan yang baru. Ketridakmenentuan ini diungkapan antara lain oleh Ahmad Chatib dkk. (1996) yang mengengemukakan berdasarkan hasil penelitiannya bahwa praktek pengajaran bahasa Arab atau model pembelajaran bahasa Arab di lembaga pendidikan formal khususnya madrasah atau sekolah berlabel “Islam”, yang mencoba menggabungkan pengajaran tata bahasa dan keterampilan berbahasa sebagai model pembelajaran bahasa Arab pada kenyataannya masih didominasi bentuk pengajaran yang cenderung menekankan pada kaidah-kaidah bahasa (Nahwu Shorf) dengan menggunakan metode gramatika terjemah.
Ketidakmenentuan bentuk pengajaran bahasa Arab di jenjang pendidikan dasar dan menengah berdampak pada pengajaran bahasa Arab di perguruan tinggi. Menghadapi kenyataan seperti ini, banyak upaya perbaikan dan pembaharuan yang dilakukan. Upaya peembaharuan pengajaran bahasa Arab di Indonesia dalam skala yang lebih luas (setelah pembaharuan pada era tigapuluhan), dimulai pada awal tahun tujuh puluhan dengan sponsor utama Departemen Agama R.I. Dimulai dengan sebuah penelitian nasional oleh dua belas IAIN di seluruh Indonesia (1971), workshop penyusunan silabus pengajaran bahasa Arab tingkat dasar, menengah, dan lanjut (1972), workshop penyusunan pedoman pembuatan “Pedoman Pengajaran Bahasa Arab untuk Penutur Indonesia”, dan serangkaian penataran bagi para guru bahasa Arab (1976).
Dalam buku pedoman PBA versi Departemen Agama itu direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Untuk tingkat dasar, digunakan pendekatan Aural-Oral dan Integrated System, dengan metode mimicry-memorization dan patern-practice.
  2. Untuk tingkat menengah, sama denga tingkat dasar disamping pendekatan polysystemic.
  3. Untuk tingkat lanjut, digunakan metode Langsung dan metode Gramatika Terjemah.
Penggunaan pendekatan Aural-Oral untuk tingkat dasar dan menengah berlanjut sampai dengan kurikulum 1984. Sementara itu di lingkungan Depdiknas telah dikembangkan penggunaan pendekatan Komunikatif untuk pengajaran bahasa. Maka pada kurikulum SMU tahun 1994, GBPP Bahasa Arab pun dikembangkan berdasarkan pendekatan Komunikatif, yang kemudian diikuti oleh GBPP Bahasa Arab Madrasah Aliyah tahun 1996.












BAB III
KESIMPULAN

            Bahasa adalah alat penerus kebudayaan, kemasyarakatan dan kemanusiaan. Perolehan kebudayaan oleh manusia terjadi melalui suatu proses yang disebut pendidikan (Nababan, 1993: 62). Selain itu, bahasa juga merupakan bagian dari kebudayaan, maka pewarisan kemampuan berbahasa dan sikap positif terhadap bahasa dilakukan pula melalui jalur pendidikan.
            Banyak orang yang belajar bahasa dengan berbagai tujuan yang berbeda. Ada yang belajar hanya untuk mengerti, ada yang belajar untuk memahami isi bacaan, ada yang belajar untuk dapat bercakap-cakap dengan lancar, ada pula yang belajar untuk gengsi-gengsian, dan ada pula yang belajar dengan berbagai tujuan khusus.
            Alat paling utama dalam interaksi belajar mengajar adalah bahasa. Penggunaan bahasa pengantar yang baik akan mendukung secara langsung maupun tidak langsung pembelajaran bahasa.
            Bahasa Arab mulai menyebar keseluruh dunia bersamaan dengan menyebarnya agama Islam.











DAFTAR PUSTAKA

Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Cetakan Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kuswardono, Singgih.Handout Perkuliahan Sosiolinguistik.Universitas Negeri Semarang.

No comments:

Post a Comment